Saya akan mengurus keringanan biaya masuk kuliah. Saya tidak sanggup membayar Rp 16 juta. Orangtua sudah angkat tangan. Saya sedang mencari solusinya".
Tanpa banyak ingar- bingar, tujuh siswa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Bina Insan Mandiri Kota Depok lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Mereka menjawab segala keterbatasan dengan rasa syukur dan hasil yang maksimal.
Tujuh siswa yang mampu menembus perguruan tinggi negeri (PTN) itu adalah Alfis Syahrin (Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Jakarta/UNJ), Andika Ramadhan Febriansyah (Jurusan Sejarah UNJ), Bagus Pangke (Jurusan Pendidikan Luar Biasa UNJ), Dwi Wulansari (Jurusan Sastra Indonesia UNJ), Mohamad Irvan (Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro), Muhammad Muar (Jurusan Manajemen Universitas Jenderal Soedirman), dan Prayudo (Jurusan Pendidikan Luar Biasa UNJ). Sebagian dari mereka adalah pengamen terminal, mantan buruh bangunan, anak sopir angkot, anak sopir taksi, dan anak tukang cuci pakaian.
Beratnya kondisi ekonomi keluarga memaksa mereka bersekolah gratis di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bina Insan Mandiri, yang biasa disebut ”Sekolah Master” (masjid terminal). Namun, di antara rasa bahagia itu terselip kegalauan. Tujuh calon mahasiswa PTN itu kini terganjal biaya kuliah.
Mencari keringanan
Minggu (5/8) siang itu, Irvan sedang buru-buru ke Semarang menggunakan kereta api. ”Saya akan mengurus keringanan biaya masuk kuliah. Saya tidak sanggup membayar Rp 16 juta. Orangtua sudah angkat tangan. Saya sedang mencari solusinya,” kata anak sopir taksi itu.
Jangankan membayar biaya kuliah, melanjutkan belajar ke SMA saja orangtuanya sempat melarang. Mereka sudah tidak sanggup membiayai. Karena itu, dia memilih Sekolah Master.
”Mendengar kabar lolos seleksi, orangtua saya senang. Namun, setelah mendengar biaya yang harus dibayar, mereka menyarankan tidak mengambilnya. Maaf, saya harus buru-buru, doakan ada jalan keluar,” katanya.
Seorang temannya menyarankan menemui Badan Eksekutif Mahasiswa di Universitas Diponegoro untuk meminta keringanan biaya pendaftaran. Meski kecil harapan itu, Irvan tetap yakin masih ada peluang terbaik baginya.
Nasib serupa dialami enam siswa PKBM Bina Insan Mandiri yang lolos seleksi. Mereka tengah berusaha menyelesaikan masalah biaya. Upaya yang sama juga dilakukan pengelola sekolah yang berusaha menghubungi para donatur sekolah dan simpatisan untuk bisa menyisihkan dermanya.
Terganjal dana
Nurrohim, Pendiri dan Pembina Sekolah Master, mengaku bangga dengan prestasi anak asuhnya. Mereka pantang menyerah sehingga ia pun berusaha menemukan solusi.
Nurrohim tidak ingin anak-anak miskin itu terganjal dana. Persoalan seperti ini kerap muncul setelah mereka lolos seleksi. Satu tahun silam, tiga anak asuhnya menghadapi persoalan serupa. Namun, Dodi Dores dan Tuti Pujianti berhasil melaluinya meski tertatih-tatih. Sementara Muhammad Muar, yang diterima di UNJ, hanya sempat belajar setahun karena tak mampu membiayai dirinya yang masuk melalui jalur mandiri. Tahun ini, Muhammad kembali tembus lewat jalur reguler di Universitas Soedirman.
”Biayanya terlalu berat bagi saya. Saya baru tahu konsekuensi lewat jalur mandiri setelah masuk kuliah. Saya memutuskan ikut seleksi lagi mengambil jalur reguler dan masuk,” tutur Muhammad, anak pedagang sayur.
Sekolah Master memang bukan sekolah anak orang kaya. Sekolah ini berlokasi di sisi utara Terminal Depok yang dapat diakses dari Jalan Arif Rahman Hakim. Siswanya anak orang miskin, anak jalanan, dan telantar. Pengelola mengasuh 2.600 siswa mulai tingkat taman kanak-kanak sampai SMA.
Proses belajar-mengajar berlangsung di tempat yang sederhana, sebagian di bekas kontainer, gedung semipermanen, dan gedung bekas arena permainan biliar. Waktu belajar-mengajar mulai pukul 07.30-22.00. Pengelola membagi tiga bagian waktu belajar, pertama 07.30-12.30, kedua 13.30-17.00, dan ketiga 19.30-22.00. Kegiatan sekolah ditopang 115 guru sukarelawan yang terdiri dari alumni sekolah, mahasiswa, dan guru tamu dari kalangan profesional. Tidak ada gaji tetap untuk mereka selain pengganti uang transportasi.
Harus ada
”Sekolah ini harus ada. Jika tidak siapa yang menampung mereka yang tidak mampu dan telantar,” kata Roqibaini alias Beni, salah seorang sukarelawan Sekolah Master. Beni adalah alumni sekolah itu dan empat tahun terakhir mengabdikan waktunya untuk kegiatan sekolah.
Para siswa ini juga harus tahan ejekan. Andika Ramadhan Febriansyah, misalnya, sering menerima pertanyaan, mengapa sekolah di sana. ”Kata mereka, sekolahnya tidak jelas, sekolah tidak pakai seragam, ruang kelasnya di kontainer bekas,” kata Dika, panggilan akrabnya.
Sekolah Master memang tidak seperti sekolah lain. Pengelola membolehkan siswanya mengenakan pakaian apa saja asalkan sopan. Jam belajar siswa lebih pendek. Kadang guru mereka tidak datang karena harus mengerjakan sesuatu yang lebih penting. Hal ini dapat dimaklumi karena status mereka sukarelawan bukan pegawai tetap.
Dengan demikian, para siswa harus kreatif karena tak ada biaya untuk memakai jasa bimbingan belajar di luar sekolah untuk mengatasi ketertinggalan. Dwi, misalnya, memohon bantuan jasa sukarelawan mahasiswa Fakultas Ekonomi UI membimbingnya di luar jam sekolah.
Bermodal tekad, kreativitas, dan semangat besar itulah para pelajar miskin ini menembus tembok tebal PTN. Mereka berhasil masuk, tetapi kini mimpi mereka terganjal biaya kuliah.